Bali tiada hari tanpa alunan suara gamelan mengiringi olah gerak
tari. Alunan instrumen musik tradisional itu menjadi denyut nadi Pulau
Dewata. Puspa ragam ekspresi seni tari tersaji dalam ritual keagamaan,
tampil dalam upacara adat, peristiwa sosial sekuler maupun sebagai
tontonan wisatawan.
Menari bukan hanya dilakoni remaja putri dan pemuda yang tampan,
namun melibatkan masyarakat Bali dari anak-anak, remaja, orang dewasa
hingga orang tua menari dalam ritual keagaan umat Hindu.
Menari adalah kesukacitaan yang mengasyikkan sebagai sebuah
persembahan sekaligus ekspresi estetik, tutur Kadek Suartaya, S,S.Kar,
M.Si (53), pria kelahiran Sukawati, Kabupaten Gianyar, 3 Desember 1960.
Dosen Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar yang sering memperkuat
tim kesenian Bali mengadakan lawatan ke luar negeri itu menjelaskan,
sebelum agama Hindu masuk ke Pulau Bali, masyarakat primitifnya telah
memiliki jenis tari yang berfungsi untuk menolak bala (penyakit) yang
hingga kini masih dijumpai di daerah pedesaan dan pegunungan.
Ritme kehidupannya tergantung dengan alam sekitar yang mempengaruhi
gerak tarian seperti meniru ayunan pohon ditiup angin, gelombang ombak
dan tingkah laku binatang.
Stilisasi dari gerak-gerak alam, flora, fauna, dan binatang itu
hingga kini diwarisi dalam tari Bali seperti adanya gerak lembu angadeg
(lembu berdiri), “gelatik nuut papah” (burung gelatik meniti dahan
pohon), “ngeraja singa” (berperangai bagai singa) dan sebagainya.
Selain tergantung dan akrab dengan alam, alam pikiran masyarakat
dinamistis Bali periode primitif itu memunculkan tari-tarian ritual yang
kental dengan rasa pengabdian yang tulus.
Kepercayaan kuat pada totemisme itu diekspresikan dalam tari-tarian
persembahan yang umumnya berunsur “trance” dalam sajian yang polos
alamiah. Fungsi tarian-tarian itu sebagai ritual tolak bala, mohon
keselamatan dan perlindungan kepada roh-roh dan dewa-dewa, ujar Kadek
Suartaya, kandidat doktor kajian budaya Universitas Udayana.
Seniman serba bisa itu menambahkan, Tari Sanghyang yang kini masih
disakralkan oleh masyarakat Bali, misalnya merupakan peninggalan zaman
pra-Hindu. Pengaruh kebudayaan Hindu Jawa sudah menyentuh Bali pada abad
VIII.
Runtuhnya Majapahit pada permulaan abad XV, membawa berkah pada
keberadaan kesenian di Bali yang dikembangkan oleh pelarian
seniman-seniman dari Jawa. Sejak itu tari Bali mulai mempergunakan
cerita, penataan busana, dan elemen-elemen kebudayaan Hindu Majapahit
lainnya.
Tari-tarian sakral yang bersifat persembahan semakin fungsional di
tengah masyarakat Hindu Bali. Seni tari sebagai presentasi estetik
diabdikan untuk mengawal kebesaran raja dan kekuasaannya.
Selain itu juga sebagai hiburan masyarakat kebanyakan, tutur Kadek
Suartaya yang tampil sebagai pembicara utama dalam workshop tari Bali
yang digelar Bentara Budaya Bali, lembaga kebudayaan nirlaba
Kompas-Gramedia dalam memeriahkan pemutaran film Bali tempo dulu.
Pada zaman kejayaan kerajaan Bali, abad XV-XIX, tarian-tarian Bali
mengalami masa keemasan dengan terciptanya beberapa drama tari. Gambuh
adalah salah satu tari yang menjadi kesayangan seisi istana. Saat itu
hampir setiap keraton memiliki panggung tempat pagelaran seni
pertunjukan Gambuh yang disebut “bale pagambuhan”.
Persentuhan Bali dengan dunia barat sejak akhir abad XIX menyebabkan
tumbuhnya tari-tarian kreasi modern. Munculnya seni tari kreasi yang
dikembangkan dari tari sakral primitif dan tradisi feodal berawal sejak
munculnya gamelan Gong Kebyar di Bali Utara pada tahun 1915.
Gamelan modern Bali yang dikembangkan dari gamelan klasik Gong Gede
itu menstimulasi tumbuh suburnya tari-tarian baru yang lazim disebut
seni pertunjukan kebyar.
Koreografi tari kebyar yang menonjolkan aspek improvisasi itu
digarisbawahi oleh tata musikal gamelan yang rumit dalam ungkapan yang
menggairahkan. I Ketut Marya adalah maestro tari kebyar dengan
ciptaannya yang monumental, tari Kebyar Duduk atau tari Kebyar
Terompong.
Tari tunggal ciptaan tahun 1925 itu biasanya dibawakan seorang pemuda
tampan hingga sekarang masih lestari dan tetap mempesona penonton.
Masa kini Kendati seni kebyar cukup mendominasi perkembangan tari
Bali, sejatinya mata air seni pertunjukan Bali pada umumnya, tari Bali
khususnya, adalah drama tari Gambuh, yakni seni teater yang berkembang
pada masa Dalem Waturenggong (1416-1550) yang menjadi sumber dan acuan
pengembangan tari Bali.
Seni pertunjukan yang diperkirakan berasal dari Kerajaan Majapahit
dan jejak-jejaknya sudah muncul di Bali saat pemerintahan Udayana pada
abad ke-11, elemen-elemennya tersebar pada beberapa kesenian Bali
seperti Calonarang, Arja, dan Legong. Seni pertunjukaan Bali masa kini
seperti Sendratari misalnya, banyak yang mengadopsi Gambuh, Calonarang
yang sering disebut teater sihir, memakai stok karater drama tari Gambuh
seperti terlihat pada tokoh-tokoh pentingnya, antara lain tokoh
pangeran, raja dan patih-patihnya.
Demikian pula dalam opera Bali, Arja, walaupun dikembangkan dalam
struktur dramatik tersendiri, namun hampir seluruh karakter
tokoh-tokohnya berangkat dari Gambuh dengan mengangkat sumber cerita
yang sama yakni Panji sentris. Cerita Panji yang menjadi lakon utama
Gambuh.
Hal itu juga dijadikan landasan tema dalam tari Legong Keraton
seperti yang dapat disimak pada Legong Keraton Lasem yang bertutur
tentang kisah cinta Prabu Lasem dengan Putri Rangkesari.
Dalam bayang-bayang pengaruh drama tari Gambuh, Legong atau Legong
Keraton tampil dan berkembang dengan jati dirinya sendiri. Legong adalah
sebuah kesenian Bali yang seutuhnya merupakan rajutan estetika tari.
Sebab tari yang diduga sudah muncul pada tahun 1811 hanya menjadikan
cerita atau lakon dan tema sebagai bingkai saja.
Raga tari Suartaya menjelaskan, pada intinya, tari yang lahir di desa
Sukawati, Gianyar itu berkisah lewat raga tari yang abstrak dan
ekspresif. Selain Legong Lasem, dikenal pula beberapa tema tari Legong
seperti Legong Kuntul, Legong Kupu-kupu, Legong Jobog dan lebih dari
sepuluh tari klasik Legong yang lainnya.
Kini dikembangan pula tari palegongan, seni pertunjukan yang memakai
pola dan struktur inti tari Legong klasik. Sementara Legong klasik
bertahan dan tari palegongan terus diciptakan, tari Kebyar tak
terbendung perkembangannya.
Keberadaan gamelan Kebyar yang hampir dimiliki oleh setiap desa atau
banjar di Bali menyebabkan jenis tari-tarian ini mengalami pertumbuhan
yang amat subur. Sejak I Ketut Marya menciptakan tari
Kebyar Duduk pada
1925, hingga kemerdekaan RI diproklamirkan, tercipta bentuk-bentuk tari
yang diterima antusias oleh masyarakat Bali seperti tari Panji Semirang,
Margapati, Wiranata dan tari berkarakter ganda atau babancihan lainnya.
Masa pemerintahan Presiden Soekarno juga membawa angin segar terhadap
berkembangnya tari-tarian Kebyar yang berkisah tentang kehidupan sosial
seperti tari Tenun, Nelayan, Tani, dan sebagainya dalam bingkai
estetika visual tari pantomime realistik.
Tahun 1970-an geliat tari-tarian Kebyar semakin marak dengan
munculnya para koreogafer lulusan lembaga pendidikan formal kesenian
dengan ciptaannya antara lain tari Manukrawa (I Wayan Dibia, 1982),
Cendrawasih (NLN Swasthi Widjaja Bandem, 1990), dan Satya Brasta (I
Nyoman Cerita, 1989).
Di tengah rentang konsistensi gegapnya perkembangan seni Kebyar,
sejak tahun 1962 muncul bentuk seni pertunjukan baru yang dikenal dengan
Sendratari. Sendratari garapan Kokar (Konservatori Karawitan) Bali yang
memakai lakon Jayaprana itu memicu lahirnya sendratari dengan sumber
cerita yang lainnya, diantaranya adalah Sendratari Ramayana (1965).
Adalah seniman tari dan tabuh, I Wayan Beratha, yang menjadi
penggagas dan pencipta seni drama tari ini di bumi Bali. Ketika Pesta
Kesenian Bali (PKB) dimulai pada tahun 1979, konsep sendratari itu
dikembangkan dalam ungkapan pentas kolosal yang ternyata sangat digemari
penonton.
Pertunjukan sendratari menjadi tontonan primadona masyarakat setiap
PKB digelar, hingga memasuki pelaksanaan PKB ke-35 tahun 2013. Kini tari
Bali dilestarikan dan dikembangkan di tengah-tengah masyarakat dan
lewat dunia pendidikan formal kesenian. Lembaga adat desa dan banjar
yang biasanya memiliki sarana kesenian seperti gamelan adalah benteng
terpenting pewarisan dan tempat pelatihan seni tari.
Lazimnya masyarakat yang menyemai bakatnya dan menggeluti seni tari
di arena berkesenian yang komunal, baik secara rutin maupun insidentil.
Belakangan selain di bale banjar atau wantilan desa, tari Bali juga
dilestarikan dan dikembangkan di sanggar-sanggar yang dikelola
perorangan.
References :
Suluh Bali
PDF Download :
Repo ISI Denpasar
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar