Kalau ada yang mengatakan bahwa wanita Bali masih terbelakang
dibandingkan laki-laki di bidang pendidikan, karier pekerjaan, atau
dunia politik tentu sulit dibantah. Fakta dan data yang ada di
masyarakat dengan mudah bisa mendukung bahwa pendapat itu banyak
benarnya. Namun, kalau ada yang mengatakan bahwa wanita Bali bersifat
pasif, nrimo, atau berpangku tangan saja tanpa memperjuangkan nasibnya atau nasib kaumnya dalam kehidupan sosial tentulah keliru.
Bukti-bukti
tertulis menunjukkan bahwa wanita Bali bahkan sudah aktif berbicara
sejak zaman kolonial untuk memperjuangkan harkat dan martabat kaumnya.
Hal ini bisa dilihat dari publikasi-publikasi dari tahun 1920-an dan
1930-an yang banyak memuat artikel yang ditulis kaum wanita. Lewat
tulisan-tulisan tersebut wanita Bali menyuarakan masalah-masalah yang
dihadapi kaumnya. Mereka juga mengkritik atau memprotes ketidakadilan
gender yang menimpa kaumnya. Bersamaan dengan itu, mereka juga mendorong
wanita Bali agar mau belajar meningkatkan kecerdasan diri sehingga
tidak diremehkan dalam kehidupan sosial. Laki-laki Bali yang
mengolok-olok wanita dengan menjadikan mereka istri kedua atau
mencarikan madu, juga dikecam.
Wanita Bali tak hanya berbicara.
Mereka juga terjun ke masyarakat dengan melaksanakan aksi nyata seperti
program pemberantasan buta huruf untuk menolong kaumnya agar bisa baca
tulis dan sadar akan arti penting kemajuan zaman. Untuk mencapai
cita-cita memajukan kaumnya, wanita Bali yang berpendidikan tak hanya
mengabdikan diri mnenjadi guru tetapi juga bersatu-padu membentuk
organisasi sosial, seperti Poetri Bali Sadar.
Diluar tugas resminya sebagai tenaga pengajar formal, mereka juga
menyediakan waktu luang mereka untuk datang ke desa-desa menggelar
program pemberantasan buta huruf. Dalam kegiatan-kegiatan tersebut,
wanita Bali juga mendapat dukungan positif dari sejumlah intelektual
laki-laki.
Reference :
Ardika71
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar